Sabtu, 02 Maret 2013

Berkaca Pada Diri Sendiri


Mahal. Itu ungkap sebagian orang yang mendiami negeri ini. Yang kaya saja berucap seperti itu apalagi yang miskin. Terbayang bagaimana susahnya hidup di negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke minus Timor Leste ini.
Memang sekarang semuanya serba mahal. Tak terkecuali bagi mereka yang duduk di kursi pemerintahan. Sebagai pemimpin, mereka kini telah kehilangan sifat kepemimpinan. Dan sifat kepemimpinan tersebut amat mahal harganya. Ini bisa dilihat dari lelaku mereka selama ini. Meghamburkan uang Negara yang notabene uang rakyat untuk pergi ke luar negeri dengan istilah studi banding. Apa yang sesungguhnya mereka bandingkan? Di Kamus Besar Bahasa Indonesia saja tidak memuat istilah studi banding. Mungkinkah mereka hanya sekedar berwisata saja? Saya kembalikan kepada anda untuk menjawabnya.
Sifat kepemimpinan yang mereka cari sebenarnya tidak mahal bahkan gratis seandainya mereka mau mempelajari seni budaya dalam negeri. Seni budaya asli dalam negeri yang hampir diakui sebagai seni budaya milik negeri Jiran Malaysia, ternyata memuat sifat tersebut. Seni budaya tersebut adalah wayang kulit terutama dalam
lakon carangan “Astho Brata”. Lakon carangan adalah lakon yang keluar dari pakem dunia pewayangan yang biasanya mengisahkan tentang Ramayana dan Mahabrata. Adapun pelopor dari lakon-lakon carangan adalah Ki Dalang Sunan Kalijaga yang terkenal dengan kepribadiannya yang merakyat.
Dalam lakon tersebut dikisahkan bahwa Prabu Suyudana dari pihak Kurawa dan Raden Janaka (Arjuna) dari pihak Pandawa sama-sama menginginkan wahyu Makutha Rama. Oleh Prabu Suyudana wahyu tersebut dikira berbentuk sebuah benda pusaka. Sehingga Prabu Suyudana mengandalkan kekuatan yang dimiliki untuk memperoleh wahyu tersebut. Sementara Raden Janaka melakoni laku rohani atau topo broto demi mendapatkan wahyu Makutha Rama. Sang Hyang Girinata selaku pimpinan para dewa melihat perbedaan tingkah dua satria yang masih bersaudara itu. Sehingga dia memutuskan memberikan wahyu Makutha Rama kepada Raden Janaka akibat keluhuran budinya. Sang Hyang Girinata lalu mengutus delapan Bathara untuk menyampaikan wahyu tersebut pada Raden Janaka. Wahyu Makutha Rama berisi delapan watak kepemimpinan yakni Bantala (Bhatara Wisnu), Maruta (Bhatara Bayu), Samodra (Bhatara Baruna), Candra (Bhatari Ratih), Surya (Bhatara Surya), Akasa (Bhatara Indra), Dahana (Bhatara Brahma), dan Kartika (Bhatara Ismaya).
Singkat kata, seorang pemimpin seyogyanya memiliki kedelapan watak tersebut. Watak yang pertama adalah Bantala atau Bumi. Watak ini mencerminkan watak bumi yang tidak pendendam. Meskipun bagian-bagian dari bumi dicangkul, dibom atau diapakan tetap saja bumi tidak marah namun sebaliknya tetap memberikan kesuburan bagi yang berpijak diatasnya.
Watak kedua adalah Maruta atau Angin. Seorang pemimpin hendaknya memiliki watak seperti angin yang luwes. Tak pandang tempat itu bersih maupun kotor, angin tetap ada disekitarnya. Dan ini menjadi cerminan bahwa pemimpin harus mampu bergaul dengan seluruh kalangan masyarakat.
Watak ketiga adalah Samodra atau Laut. Berkaca dari kenyataan, laut merupakan wadah berisi air yang sangat luas. Dan tak bisa dipungkiri laut juga merupakan tujuan akhir dari sungai-sungai. Sehingga seorang pemimpin dapat menjadi tujuan akhir dari rakyatnya dan mampu menyerap aspirasi rakyat.
Watak keempat adalah Candra atau Bulan. Semua orang di muka bumi sepakat bahwa cahaya bulan mampu menetramkan hati dan menenangkan jiwa. Maka dari itu, pemimpin yang baik mampu menciptakan ketenangan dan ketentraman pada masyarakatnya.
Watak kelima adalah Surya atau Matahari. Dalam kajian ilmu pasti, matahari merupakan sumber energi terbesar di bumi. Seluruh makhluk hidup dapat menikmati energi itu setiap hari. Hubungannya dengan pemimpin adalah agar sebagai pemimpin mampu memberikan penghidupan yang layak dan merata bagi seluruh rakyatnya.
Watak keenam adalah Akasa atau Langit. Langit adalah tempat dari segala benda-benda langit. Di langit terdapat bintang, planet, asteroid dan masih banyak lagi yang lainnya. Bercermin dari sini, pemimpin haruslah mampu merangkul segala perbedaan dalam masyarakat menjadi satu.
Watak ketujuh adalah Dahana atau Api. Sesuai dengan sifatnya api adalah perusak yang membakar segala yang dilaluinya. Dari sini, sebagai pemimpin haruslah bersikap tegas dan adil ketika menemui ketidak adilan yang terjadi baik itu dilakukan oleh pejabat maupun oleh keluarga sendiri.
Watak terakhir adalah Kartika atau Bintang. Dalam perjalanan, musafir yang tersesat di malam hari selalu mengandalkan rasi bintang di langit sebelum ditemukannya kompas. Laku pemimpin haruslah mampu memberi petunjuk terhadap rakyatnya dan menyeru kembali ke jalan yang benar ketika rakyatnya mulai berbelok dari jalan.
Ini hanya sebagian kecil dari mulianya budaya bangsa kita bangsa Indonesia. Masih banyak yang lain yang belum sempat tergali dan terpublikasi. Adakah dari kita (rakyat Indonesia terutama anak muda) yang masih peduli?

Tidak ada komentar: