Minggu, 01 September 2013

Sempu - Malang Selatan

Setelah sekian lama hanya menjadi sebuah rencana, akhirnya rencana tersebut terwujud. Rencana untuk kemping di Pulau Sempu, pulau yang berada di selatan Jawa ini berhasil diwujudkan pada hari Senin, 26 Agustus 2013. Dikomandoi oleh Bagus Suryawan, kami bertujuh – saya, Kenda, Elwin, Prima, Hazbullah, dan Yosua – bertolak dari UB menuju ke kediaman Hanif, teman seangkatan kami. Disini kami sempat
beristirahat sholat ashar sembari bersantap siang. Setelah itu, perjalanan kemudian dilanjutkan menuju ke Sendang Biru, tempat untuk menyeberang ke Pulau Sempu. Kami tiba di Sendang Biru menjelang Maghrib, dimana sebagian besar kapal-kapal telah enggan menyeberangkan pengunjung. Nasib baik masih menyelimuti kami, ada salah satu pemilik kapal yang bersedia menyeberangkan kami namun tidak di pintu masuk Pulau Sempu tetapi di Waru-waru, sekadar untuk kemping.
Suasana Pagi Hari di Waru-waru.
Dari semua teman yang kemping malam itu, mungkin saya yang paling nyeleneh. Pergi kemping ke Pulau Sempu dengan setelan rapi – batik, jeans, dan bersepatu. Sampai ada yang nyeletuk “awakmu kate kondangan nangdi, sepi nangkono”. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Tapi yang menarik adalah saat menunaikan waktu sholat. Ada dua teman yang memperdebatkan arah kiblat yang benar yaitu ke barat. Teman saya bilang, Sempu itu ada di selatan Jawa berarti kalau kita menghadap ke arah dermaga, kiblat ada di sebelah kiri. Teman saya yang lain malah berkata sebaliknya, “Saya pernah kemping disini, tapi arah kiblat yang kami gunakan adalah sebelah kanan dermaga”. Saya lebih setuju dengan pendapat teman saya yang pertama. Tapi karena ada yang telah mendahului kami kemping di tempat tersebut, apa boleh buat kami ikuti saja pendapat teman kami yang kedua. Esok harinya, ketika matahari muncul baru terlihat arah yang sebenarnya yakni sesuai dengan pendapat teman saya yang pertama. Bagaimana dengan sholat kami? Wallahu a’lam. Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Berfoto dengan tenda.
Selasa, 27 Agustus 2013, kami berdelapan diantar menuju Teluk Semut, pintu masuk menuju Segara Anakan yang disebut-sebut sebagai surga Pulau Sempu. Jalanan yang dilalui bisa dibilang cukup menyulitkan langkah. Akar-akar menyembul dari tanah, bebatuan, dan medan yang naik turun cukup menguras energi. Apalagi paginya kami hanya sarapan dengan makanan kecil. Ganjel weteng istilahnya. Lagi-lagi saya paling nyeleneh juga saat itu. Melintasi jalanan yang sulit seperti itu, semuanya melindungi kakinya dengan sandal gunung kecuali saya. Saya mengenakan sandal jepit pasaran, dan akhirnya saya harus mengalah dengan berjalan tanpa alas kaki alias nyeker. Selain itu, saya juga mengenakan jaket organisasi waktu itu. “Awakmu kate rapat nangkene ta. Urip kok rapat terus.” Sindir seorang teman.
Mulut Teluk Semut.
Menuju Segara Anakan.
Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Segara Anakan. Sejenak kami melepas lelah di hamparan pasirnya yang putih. Indah memang. Sebenarnya, Segara Anakan ini bukanlah danau melainkan masih satu kesatuan dengan Laut Selatan yang dihubungkan dengan lubang pada salah satu batu karangnya. Air yang masuk kemudian terperangkap sehingga terlihat seperti danau. Sebelum menceburkan diri di air Segara Anakan, kami putuskan untuk menjelajahi kenampakan alam di sekitarnya. Menurut teman kami yang sebelumnya pernah ke tempat yang sama, ada dua tempat dengan pemandangan yang indah untuk memandangi laut selatan. Satu diantara bebatuan karang yang lapang, sedangkan yang lain di atas karang yang cukup tinggi.
Lokasi yang paling mudah didatangi adalah lokasi batuan karang yang lapang. Disini terlihat lautan lepas dengan deburan ombak yang keras. Sesekali hantaman ombak hampir mengenai kami. Pemandangan yang apik tak kami lewatkan begitu saja. Untuk tetenger bahwa kami pernah kesini, kami berfoto dengan latar belakang bebatuan karang dan lautan lepas. Selanjutnya, kami menuju ke tempat karang yang cukup tinggi. Medan menuju ke karang tersebut tidaklah mudah karena harus mendaki karang, bukan mendaki gunung. Sesampainya di atas, tulisan pertanda bahaya sempat mengecilkan niat untuk menuju ke tempat yang paling tinggi. Akhirnya, dengan hanya bertiga – saya, Bagus, dan Prima – menuju ke karang tertinggi tersebut yang kemudian disusul oleh Hanif. Sebenarnya tidak sulit karena hanya membutuhkan kehati-hatian yang lebih. Sesampainya di atas, puji syukur pun mengalun dalam hati. Salah satu keindahan negeri ini terhampar di hadapan kami. Segara Anakan dan deburan ombak laut selatan yang terlihat dari atas begitu memanjakan mata.

Turun dari situ, kami sempat bermain sepak bola sejenak sebelum menceburkan diri ke laut Segara Anakan. Air Segara Anakan sangat bersih, bening, dingin, dan tentunya asin. Bagaikan anak kecil, kami dan teman-teman bercanda lepas dengan permainan-permainan air seperti di sungai tepi rumah. Manusia memang tercipta dari air. Sehingga ketika air bertemu dengan air maka semuanya akan saling menyambung. Ketika matahari telah hampir berada di atas kepala, kami akhiri permainan lalu berkemas untuk kemudian meninggalkan Pulau Sempu pulang kembali ke Malang.
Latar Belakang Segara Anakan.
Hancur Band.
Berkibarlah HIMAFIS UB.

Tidak ada komentar: