Setelah sekian lama hanya menjadi sebuah rencana, akhirnya rencana
tersebut terwujud. Rencana untuk kemping di Pulau Sempu, pulau yang berada di
selatan Jawa ini berhasil diwujudkan pada hari Senin, 26 Agustus 2013. Dikomandoi
oleh Bagus Suryawan, kami bertujuh – saya, Kenda, Elwin, Prima, Hazbullah, dan
Yosua – bertolak dari UB menuju ke kediaman Hanif, teman seangkatan kami.
Disini kami sempat
beristirahat sholat ashar sembari bersantap siang. Setelah
itu, perjalanan kemudian dilanjutkan menuju ke Sendang Biru, tempat untuk
menyeberang ke Pulau Sempu. Kami tiba di Sendang Biru menjelang Maghrib, dimana
sebagian besar kapal-kapal telah enggan menyeberangkan pengunjung. Nasib baik
masih menyelimuti kami, ada salah satu pemilik kapal yang bersedia menyeberangkan
kami namun tidak di pintu masuk Pulau Sempu tetapi di Waru-waru, sekadar untuk
kemping.
|
Suasana Pagi Hari di Waru-waru. |
Dari semua teman yang kemping malam itu, mungkin saya yang paling
nyeleneh. Pergi kemping ke Pulau Sempu dengan setelan rapi – batik, jeans, dan
bersepatu. Sampai ada yang nyeletuk “awakmu kate kondangan nangdi, sepi
nangkono”. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Tapi yang menarik adalah saat
menunaikan waktu sholat. Ada dua teman yang memperdebatkan arah kiblat yang
benar yaitu ke barat. Teman saya bilang, Sempu itu ada di selatan Jawa berarti
kalau kita menghadap ke arah dermaga, kiblat ada di sebelah kiri. Teman saya
yang lain malah berkata sebaliknya, “Saya pernah kemping disini, tapi arah
kiblat yang kami gunakan adalah sebelah kanan dermaga”. Saya lebih setuju
dengan pendapat teman saya yang pertama. Tapi karena ada yang telah mendahului
kami kemping di tempat tersebut, apa boleh buat kami ikuti saja pendapat teman
kami yang kedua. Esok harinya, ketika matahari muncul baru terlihat arah yang
sebenarnya yakni sesuai dengan pendapat teman saya yang pertama. Bagaimana
dengan sholat kami? Wallahu a’lam. Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
|
Berfoto dengan tenda. |
Selasa, 27 Agustus 2013, kami berdelapan diantar menuju Teluk
Semut, pintu masuk menuju Segara Anakan yang disebut-sebut sebagai surga Pulau
Sempu. Jalanan yang dilalui bisa dibilang cukup menyulitkan langkah. Akar-akar
menyembul dari tanah, bebatuan, dan medan yang naik turun cukup menguras
energi. Apalagi paginya kami hanya sarapan dengan makanan kecil. Ganjel weteng
istilahnya. Lagi-lagi saya paling nyeleneh juga saat itu. Melintasi jalanan yang
sulit seperti itu, semuanya melindungi kakinya dengan sandal gunung kecuali
saya. Saya mengenakan sandal jepit pasaran, dan akhirnya saya harus mengalah
dengan berjalan tanpa alas kaki alias nyeker. Selain itu, saya juga mengenakan
jaket organisasi waktu itu. “Awakmu kate rapat nangkene ta. Urip kok rapat
terus.” Sindir seorang teman.
|
Mulut Teluk Semut. |
|
Menuju Segara Anakan. |
Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Segara Anakan.
Sejenak kami melepas lelah di hamparan pasirnya yang putih. Indah memang.
Sebenarnya, Segara Anakan ini bukanlah danau melainkan masih satu kesatuan
dengan Laut Selatan yang dihubungkan dengan lubang pada salah satu batu
karangnya. Air yang masuk kemudian terperangkap sehingga terlihat seperti
danau. Sebelum menceburkan diri di air Segara Anakan, kami putuskan untuk
menjelajahi kenampakan alam di sekitarnya. Menurut teman kami yang sebelumnya
pernah ke tempat yang sama, ada dua tempat dengan pemandangan yang indah untuk
memandangi laut selatan. Satu diantara bebatuan karang yang lapang, sedangkan
yang lain di atas karang yang cukup tinggi.
Lokasi yang paling mudah didatangi adalah lokasi batuan karang yang
lapang. Disini terlihat lautan lepas dengan deburan ombak yang keras. Sesekali
hantaman ombak hampir mengenai kami. Pemandangan yang apik tak kami lewatkan
begitu saja. Untuk tetenger bahwa kami pernah kesini, kami berfoto dengan latar
belakang bebatuan karang dan lautan lepas. Selanjutnya, kami menuju ke tempat
karang yang cukup tinggi. Medan menuju ke karang tersebut tidaklah mudah karena
harus mendaki karang, bukan mendaki gunung. Sesampainya di atas, tulisan
pertanda bahaya sempat mengecilkan niat untuk menuju ke tempat yang paling tinggi.
Akhirnya, dengan hanya bertiga – saya, Bagus, dan Prima – menuju ke karang
tertinggi tersebut yang kemudian disusul oleh Hanif. Sebenarnya tidak sulit
karena hanya membutuhkan kehati-hatian yang lebih. Sesampainya di atas, puji
syukur pun mengalun dalam hati. Salah satu keindahan negeri ini terhampar di
hadapan kami. Segara Anakan dan deburan ombak laut selatan yang terlihat dari atas
begitu memanjakan mata.
Turun dari situ, kami sempat bermain sepak bola sejenak sebelum
menceburkan diri ke laut Segara Anakan. Air Segara Anakan sangat bersih,
bening, dingin, dan tentunya asin. Bagaikan anak kecil, kami dan teman-teman
bercanda lepas dengan permainan-permainan air seperti di sungai tepi rumah.
Manusia memang tercipta dari air. Sehingga ketika air bertemu dengan air maka
semuanya akan saling menyambung. Ketika matahari telah hampir berada di atas
kepala, kami akhiri permainan lalu berkemas untuk kemudian meninggalkan Pulau
Sempu pulang kembali ke Malang.
|
Latar Belakang Segara Anakan. |
|
Hancur Band. |
|
Berkibarlah HIMAFIS UB. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar