Sabtu, 22 Februari 2014

Druju, 13 - 16 Februari 2014


13 Februari.

Menunggu itu bosan...

Penggalan lirik lagu dari grup band Gigi cocok mewakili keletihan kami pada hari itu. Keberangkatan yang semula direncanakan pukul 09.00 harus molor hingga pukul 15.00. Hari itu, teman saya Winda Ramadhani sedang memulai hari pertamanya melakukan penelitian skripsi. Sekadar tahu saja, mahasiswa Fisika UB 2010 sekarang tengah menjalani semester akhir yang mana banyak dihiasi dengan kegiatan penelitian yang berujung pada laporan skripsi. Bagi mahasiswa fisika dengan bidang minat geofisika,
peran teman-teman akan sangat membantu dalam proses penelitian yang menggunakan data lapangan.
Hari itu penelitian dimulai dengan mengambil titik ikat di belakang gedung Jurusan Fisika. Entah bagaimana metodenya, saya tidak terlalu mengerti. Sebagai mahasiswa dengan bidang minat instrumentasi yang berkecimpung pada instrumen-instrumen elektronika, alat yang digunakan memanfaatkan prinsip perubahan elastisitas pegas. Sedikit getaran dari kendaraan maupun lalu lalang mahasiswa, menyebabkan perubahan pada elastisitas pegas. Beberapa kali teman saya harus memastikan bahwa nilai yang tertera di alat adalah nilai sebenarnya dengan kenyataan di lapangan.
Selanjutnya, penelitian dilakukan di lokasi penelitian. Lokasi penelitian adalah di Druju, sebuah daerah di Malang Selatan yang memilki patahan terkenal yang disebut Patahan Druju. Saya mengetahuinya baru-baru ini dari teman geofisika saya. Teman saya melakukan penelitian tidak sendiri. Dibantu dengan Qomar, Kyky, Elwin, dan Saliem, serta saya, kami berenam berangkat ke Druju menggunakan mobil sewaan.
Lokasi yang dituju adalah depan telkom Sumbermanjing. Disini penelitian tetap dilakukan dengan melakukan pengambilan titik ikat. Selanjutnya lokasi di depan telkom ini disebut dengan base. Lokasi base yang berdekatan dengan jalan raya dan tempat berlatih motor trail bisa saja menyebabkan data memiliki banyak noise. Selesai mengambil titik ikat di depan telkom, kami menuju ke lokasi yang rencananya akan dijadikan tempat penelitian selama melakukan penelitian. Sambutan dari pemilik rumah sangat ramah. Khas sambutan orang desa. Kami disuguhi panganan desa berupa ketan dipadu dengan kelapa dan ditemani dengan seceret kopi. Saya jadi teringat sambutan yang serupa di daerah saya, sebuah desa di kabupaten kecil Bondowoso.
Dari sini, kami harus melakukan pengambilan titik ikat kembali di belakang gedung jurusan Fisika. Entahlah, saya mengikuti saja, toh prosedurnya memang seperti itu.

14 Februari.
Hari Valentine.
Biasanya muda-mudi merayakan hari itu bersama dengan pasangan. Coklat dan mawar mendadak laris pada hari itu. Tetapi kami tidak melakukan itu. Bervalentine dengan alam menebar kasih sayang pada bumi. Itu yang kami lakukan.
Penelitian hari itu masih melibatkan saya, Elwin, Qomar, dan Saliem, selain Winda sebagai pelaku utama. Bantuan juga datang dari Diah dan Ajeng, duet yang tiba-tiba klop setelah ditempa selama proses KKL. Sebenarnya dua teman saya yang terakhir tengah was-was. Gunung Kelud tiba-tiba meletus di malam valentine. Informasi yang diterima, tempat tinggal mereka beserta orang tua di Kediri dan Blitar masih aman hanya terkena hujan abu. Namun itu masih belum cukup untuk membuat mereka berdua lega. Sepanjang jalan mereka masih sempat bercanda meski tersimpan kegalauan di balik candaan mereka berdua.
Menuju lokasi titik base.

Mempersiapkan alat.

Penelitian dimulai dari titik base yakni di depan telkom. Pengambilan data dilakukan dengan menyusuri jalan raya untuk menemukan lokasi patahan. Panjang jalan yang ditempuh adalah sekitar 5 km. Setiap 250 m dilakukan pengambilan data di pinggir jalan. Menjadi tontonan warga sekitar adalah resiko yang harus kami lalui. Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Kang Mas Saliem menyendiri sejenak.

Mengambil data di samping rumah warga.

Memotret atau dipotret?

Kuburan juga menjadi obyek pengambilan data.

Saya tidak bisa mengikuti pengambilan data hari ini sampai selesai. Saya harus mengembalikan mobil sewaan ini karena waktu sewa yang mulai mendekati batas. Seorang diri dari Druju-Malang, bercengkerama dengan hewan liar jalanan.

15 Februari.
Pasca valentine.
Valentine, biarlah berlalu. Toh, kasih sayang tidak hanya terfokus pada satu hari. Bila kasih sayang hanya ada pada hari itu, maka manusia jauh lebih rendah dari binatang di hari-hari yang lain.
Bersiap untuk pengambilan data hari kedua.

Pengambilan data dilanjutkan. Kali ini blusukan ke dalam sawah. Sawah tebu, lombok, salak, tegalan, semuanya diterobos. Bala bantuan kali ini datang dari Kyky, Gustiansyah, Dzarril, Hanif, dan Fina. Kehadiran mereka membuat proses pengambilan data tidak sepi. Ada saja yang dibicarakan. Selalu saja ada topik, entah itu karaoke, gosip, masa kecil, perihal laboran, dan masih banyak lagi yang lainnya. Perjalanan melewati bukit-bukit kecil cukup melelahkan. Sekali waktu ada pemandangan yang mirip dengan bukit Teletubbies, sinema masa kecil. Sayang tidak ada kincir angin besar disini. Yang ada hanya semilir angin tanpa kincir. Alami.
Berjalan di jalanan setapak.

Menyibak tebu.

Di tengah setapak tebu.

Antara asisten dan praktikan.

Seharian kami mengitari areal persawahan. Target sekitar 80 titik harus dipenuhi hari itu. Kalaupun menunda, maka harus menambah jumlah hari yang tentunya menambah pengeluaran. Sampai di penginapan, teman-teman bersegera menunaikan ibadah sholat ashar. Maklum jam telah menunjukkan pukul setengah enam.
Menikmati bekal dan bercengkerama sejenak.

Bersantai di gubug.

Di pinggir jalan desa.

Malam pun tiba. Hujan pun datang menyapa. Hujan yang datang seolah menjadi penawar akan berita bahwa bau belerang dan abu kelud telah mencapai wilayah Malang. Malam yang dingin itu dihabiskan dengan memplot data dalam komputer. Entah perangkat lunak apa yang digunakan, saya tidak terlalu mengerti. Yang jelas, hasilnya menunjukkan bahwa pengambilan data tadi tidak mengenai daerah patahan sama sekali. Sehingga, harus dipikirkan ulang jalur untuk melakukan pengambilan data agar patahan dapat terlingkupi. Perdebatan teman-teman geofisika membuat saya bingung. Akhirnya musik di HP yang menjadi teman selama perdebatan berlangsung.
Potret jalanan desa yang rusak.

Seperti legenda perjalanan mencari kitab suci ke barat.

Malam itu hanya saya, Kyky, Elwin, Diah, Ajeng, dan Qomar yang bermalam menemani sang peneliti. Sebenarnya ada rencana di balik itu. Salah satu teman kami, Kyky esok hari berulang tahun. Karena tahun ini kemungkinan tahun terakhir kami bersama, maka kami mencoba merayakannya dengan sedikit berbeda. Fina dan Hanif sengaja bermalam di kediaman Puguh untuk memesan kue dengan mengutus Galuh yang masih berada di Malang dan akan menuju ke Druju.
Kue ulang tahun.

Tepat pukul 00.00, setelah permainan ABCD berakhir sekitar satu jam yang lalu dengan tanpa dialiri arus listrik, acara dimulai. Fina, Hanif, Puguh, dan Galuh, datang membawa kue ulang tahun. Lilin 22 menghiasi kue tersebut menunjukkan usia yang kini ditapaki oleh Kyky. Seperti biasa gojlok-gojlokan selalu ada di momen seperti ini. Canda tawa yang renyah dan bersahabat ada dalam gojlokan. Setelah tiup lilin dan potong kue, kami pun beristirahat.
Dengan sebagian teman.

Aku sudah 22 tahun.

Hadiah baju.

Belepotan kue dari para ladies.


16 Februari.
Ulang tahun.
Kue telah habis di malam itu. Lelah masih tergambar di raut muka teman-teman. Sedikit penyemangat ada dari kopi dan pisang goreng yang disuguhkan. Nikmat.
Akhirnya saya undur diri untuk pulang.
Terlelap.

Sarapan pagi.

Pose pagi.

Tidak ada komentar: