Sabtu, 31 Mei 2014

Blitar, 24 Mei 2014

Blitar memang bukan kota kelahiran saya. Saya juga tidak pernah dibesarkan disini. Yang saya tahu kota ini diwartakan sebagai kota kelahiran dari Presiden RI pertama, Soekarno. Itu yang tertulis dalam buku-buku sejarah. Dulu. Saat saya masih mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Sebelum buku-buku itu mengalami revisi. Kini, Blitar bukan lagi kota kelahiran Soekarno, tetapi Blitar adalah kota tempat Soekarno dimakamkan.
Berbicara tentang sejarah, Blitar merupakan kota yang kaya akan sejarah. Seperti saat zaman pendudukan Jepang, kota ini menjadi pusat dari organisasi PETA. Masuk ke zaman kerajaan, kota ini memiliki banyak peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang tersebar di Jawa Timur. Tertarik? Bisa kau temui dengan banyaknya candi-candi yang tersebar disini.
Perjalanan kali ini mengunjungi Blitar, mengunjungi candi-candi yang ada disini. Bertiga, candi pertama yang kami tuju adalah Candi Sawentar. Lokasinya berada di desa Sawentar, di tengah-tengah suasana yang asri. Adem. Ayem.

Dulunya, badan candi ini terpendam dalam tanah dan hanya menyisakan bagian atasnya saja. Kemudian dilakukan penggalian agar membuat candi ini terlihat utuh. Candi ini tenggelam dalam tanah akibat letusan gunung Kelud yang menyebarkan badai pasir sehingga menutupi candi ini. Seperti itu yang dituturkan oleh Bapak Sugeng, juru pelihara candi. Dia juga berkisah bahwa candi ini masih lebih tinggi lagi sekitar lima meter. Namun, untuk rekonstruksi, bagian atap candi telah hilang sekitar 4 meter, sementara yang 1 meter masih bisa disusun dalam susunan percobaan. Susunan percobaan ini bisa dilihat di dekat pintu masuk.

Tampak depan, Kala yang hilang.
Tampak Samping.
Atap Candi Sawentar, dalam susunan percobaan.
Saya berkeliling mengamati candi. Sekilas candi ini mirip dengan Candi Kidal. Hanya lebih kecil dan arsitekturnya sedikit berbeda. Hiasan Kala di pintu masuk candi telah hilang. Entah runtuh mungkin saat terjadi badai Kelud. Sehingga banyak orang-orang yang memotret candi ini dari samping.
Candi Sawentar ini merupakan Candi Sawentar I. Tak jauhnya darinya, ada Candi Sawentar II yang berjarak sekitar 100 meter. Menurut cerita Pak Sugeng, candi ini berupa monumen untuk memperingati perang paregreg yang terjadi di zaman Majapahit. Candi ini masih dalam tahap penelitian. Dulu sempat digali, kemudian ditutup kembali karena terkendala dana dan meminimalkan resiko pencurian. Pengunjung bisa melihat-lihat Candi Sawentar II ini yang memang ditinggalkan dua lubang bekas penggalian.
Monumen perang paregreg.

Menanti penggalian.
Selanjutnya, kami menuju ke Candi Panataran. Ini merupakan kunjungan saya yang ketiga dan kunjungan yang pertama bagi dua teman saya. Karena kunjungan mereka yang pertama, saya berperan sebagai pemandu bagi mereka berdua.
Dwarapala Panataran.
Halaman Panataran.
Prasasti Palah.
Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Candi Simping di Kademangan. Dengan bantuan Mbak Yu Mastin, kami bisa sampai di lokasi. Candi Simping hanya menyisakan bagian pondasi saja. Adapun bagian dari pondasi ke atas telah runtuh. Reruntuhannya tertata rapi di halaman candi. Seperti kata juru pelihara Candi Simping, rencana pemugaran tetap ada, namun terkendala oleh dana. Sketsanya telah ada dan ditempel di jendela pos penjagaan. Padahal candi ini merupakan tempat pendarmaan Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya, pendiri kerajaan Wilwatikta atau Majapahit. Arca pendarmaannya kini tak lagi berada di candi ini, melainkan telah dipindahkan ke museum nasional Jakarta. Di rumah Mbak Yu Mastin, kami beristirahat sejenak. Dua teman saya, sampai tertidur saking capeknya.
Pondasi Candi Simping.
Catur Kala.
Lingga.
Sketsa Candi Simping dan Arca Kertarajasa.
Perjalanan pulang masih dilanjutkan dengan mampir ke Telaga Monte di Krisik. Awalnya, saya mengira tempat wisata ini tutup saat sore. Berkat kengototan salah satu teman, saya baru tahu kalau tempat ini buka 24 jam sesaat setelah tiba di lokasi. Lokasinya cukup asri dan alami. Airnya jernih dan mata airnya berwarna biru. Ada ikan-ikan yang cukup besar berenang-renang di dalamnya. Seperti penuturan dari penjaja makanan disitu, telaga ini telah ada sejak zaman Majapahit. Pernah disinggahi raja, tambahnya.
Menurutnya pula, di sekitarnya masih ada dua telaga selain telaga Monte. Ada telaga Sumber Dandang dan kalau saya tidak salah dengar, telaga Sumber Canting. Andai hari masih siang, kami mungkin tertari mengunjungi karena letaknya yang tak begitu jauh. Di sekitar telaga Monte, dekat pintu masuk juga terdapat candi. Entah apa nama candinya, fungsinya untuk pemujaan.
Mata Air Biru.
Pinggir telaga.
Telaga Monte.

Tidak ada komentar: