Senin, 10 Maret 2014

Bromo, 8 Maret 2014

Sesuatu yang direncanakan selalu memberikan hasil yang memuaskan. Tanpa perencanaan yang matang, anda mungkin akan menyesal di kemudian hari. Namun, untuk urusan jalan-jalan (dolan), sebaiknya dilakukan tanpa perencanaan. Pengalaman sebelum-sebelumnya memberikan pelajaran bahwa dolan dengan perencanaan, menjadikan dolan tidak terlaksana. Salah satu contohnya adalah Ekspedisi Semeru.
Tujuan dolan kali ini adalah Gunung Bromo. Sempat direncanakan beberapa hari sebelum keberangkatan. Entah karena kutukan rencana, dolan kali ini terancam gagal seperti halnya Ekspedisi Semeru. Setelah beberapa kali berdebat, akhirnya diputuskan untuk tetap berangkat. Hanya berempat. Saya, Galuh, Prima, dan Kiben.

Jumat malam atau malam Sabtu, sekitar pukul 10 WIB, kami berkumpul terlebih dahulu di kos Mas Rio. Sekadar menunggu empat orang ini berkumpul karena salah satu dari kami sedang memenuhi undangan di Rektorat. Setelah keempat orang ini berkumpul, selanjutnya menuju ke kontrakan Prima. Hanya tinggal dia seorang yang belum berkemas. Disini kami bercengkerama sejenak sambil menunggu jarum jam menunjuk angka 1 dini hari. Selama menunggu, kami bersenda gurau dengan Ibnu, Hanif, dan Affandi. Gojlok-gojlokan, lumayan mengusir kantuk meskipun mata mulai kriyip-kriyip.
Sekitar pukul 1 dini hari, kami mulai berangkat. Melewati jalan provinsi yang lengang ditemani truk-truk besar yang berjalan lambat. Jalan yang kami lalui menuju ke arah Pasuruan. Di suatu persimpangan jalan, kami berbelok ke arah Nongkojajar menuju ke arah Penanjakan. Berbeda dengan jalan provinsi, jalan yang kami lalui kali ini tak terlalu lebar. Sepi. Penghuni rumah di tepian jalan telah mengarungi mimpi. Sementara kami mengarungi jalanan sepi yang dingin. Tanjakan, hutan, jalanan berlubang, harus kami lalui untuk mencapai Penanjakan. Bebek-bebek besi yang kami tunggangi seperti meronta-ronta karena dipaksa untuk berjalan maksimal. Di salah satu tanjakan yang curam, terpaksa saya harus berhenti dan berjalan kaki karena bebek besi rewel tidak kuat berjalan.
Sesampainya di pintu masuk Bromo, langkah kami dihentikan petugas penjaga pintu. Bukan karena kami melanggar peraturan, tetapi kami dipersilahkan untuk membeli karcis masuk wisata Bromo. Isu tarif naik sempat membuat kami bingung. Namun ternyata tidak. Di papan pengumuman terpampang 1 motor 2 orang dikenakan tarif Rp 23.000,00.
Karcis telah ditangan. Perjalanan pun dilanjutkan menuju Penanjakan. Dingin pun mulai merasuk. Menembus tulang. Jari-jemari kaki saya hampir kram karena tidak bersepatu. Apalagi ditambah dengan kedua tangan yang tidak bersarung tangan. Semakin menusuk tulang udara dingin di Bromo. Teman-teman masih aman karena mereka bersepatu. Minuman hangat yang kami pesan pun tak cukup menghangatkan tubuh kami.
Berlomba mengabadikan fajar.
Sang fajar.
Menikmati kopi.
Menanti matahari terbit.
Titik venus.
Siluet.
Yang ditunggu-tunggu oleh para wisatawan yang mengunjungi Gunung Bromo adalah pemandangan matahari terbit (sunrise). Perubahan warna dari gelap menuju ke terang menyiratkan keindahan alam ciptaan Tuhan. Hampir sebagian besar wisatawan mengabadikan pemandangan ini menggunakan kamera masing-masing. Tak sedikit yang memanfaatkan fasilitas kamera pada gadget yang dibawa. Begitupun kami. Kami mencoba mengabadikan pemandangan yang tercipta dengan kamera digital dan kamera hp. Untuk beberapa waktu ketika fajar shodiq muncul, kamera kami tidak mampu mengabadikannya. Perlahan ketika langit semakin terang, kamera kami mulai bisa mengabadikan pemandangan dengan jelas. Beberapa menghasilkan siluet yang indah. Matahari pun menyembul dari balik gunung diiringi dengan sinar emasnya. Tak lupa kami mengabadikan diri kami berempat.
Kiben.
Fadlil.
Galuh.
Prima.
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan menuju ke Lautan Pasir di sekitar Gunung Bromo. Di salah satu sudut jalan terdapat tulisan bukit cinta. Bukit tersebut dinamakan Bukit Cinta. Entah mengapa. Saya dan Galuh sempat berhenti disitu untuk sekadar menengok. Jalanan menuju Lautan Pasir menurun cukup curam. Hampir 45 derajat kemiringannya dan berkelok-kelok. Butuh keterampilan dan konsentrasi mengemudi yang ekstra untuk melaluinya. Di Lautan Pasir ini, jalanan yang dilalui didominasi oleh pasir abu-abu yang halus. Pengemudi yang tak cukup cekatan mengemudikan bebek besinya rawan mengalami selip disini. 
Kami tidak mendaki kawah Bromo. Hanya mengitarinya saja.  Di kaki Bromo terdapat Pura tempat peribadatan umat Hindu. Hari itu Pura ditutup rapat. Saya hanya bisa mengintip bagian dalamnya dari luar. Dari balik celah pintu gerbang Pura. Banyak wisatawan yang mendaki kawah Bromo. Terlihat dari kejauhan, mereka berbaris rapi mendaki. Yang kami tuju adalah bukit teletubbies di balik Gunung Bathok yang cukup indah. Seringkali bukit ini digunakan sebagai lokasi syuting FTV, katanya. Disini kami menikmati bekal yang kami bawa. Dua bungkus lalapan kami nikmati berempat. Yap, lalapan berlauk ayam goreng dan sambal. Makanan pokok mahasiswa kos-kosan.
Bersantai setelah menuruni jalanan curam.
Mengarungi Lautan Pasir.
Menikmati bekal.
Empat minus satu.
Tak berhenti sampai disini. Perjalanan dilanjutkan ke Air Terjun Madakaripura. Air terjun eksotis di perbatasan Probolinggo-Pasuruan.

Bersambung ke Madakaripura, 8 Maret 2014.

Tidak ada komentar: