Rabu, 12 Maret 2014

Madakaripura, 8 Maret 2014

Tak perlu waktu lama di bukit teletubbies di salah satu sisi Gunung Bathok di Kawasan Wisata Gunung Bromo. Setelah menikmati bekal lalapan lauk ayam goreng dan merapikan sampah agar tidak mengotori kawasan wisata, kami pun melanjutkan perjalanan ke obyek wisata selanjutnya, Air Terjun Madakaripura. Mengarungi lautan pasir, kami menyusuri jejak-jejak ban mobil yang tersisa untuk menuju ke Madakaripura dan menghindari tersesat.
Jalanan beraspal yang kami lalui menurun cukup curam. Berkelok-kelok. Jurang di tepian kanan dan
kiri. Butuh konsentrasi tinggi mengendalikan kecepatan motor yang meninggi akibat jalan yang menurun. Kejelian mata dan keahlian diperlukan untuk menghindari aspal yang mengelupas tergerus genangan air hujan. Sebagian besar menyisakan lubang besar yang menganga di tengah jalan.
Udara sejuk khas daerah ketinggian, perlahan berganti menjadi udara panas.
"Setelah pom bensin, nanti belok kiri mas". Seorang penjaja makanan di sebuah warung memberikan petunjuk ketika kami tanyai. Tidak sulit untuk mencapai lokasi Air Terjun Madakaripura. Setelah melewati pom bensin dan belok kiri, kami tinggal mengikuti rambu-rambu yang mengarahkan kami menuju lokasi wisata Air Terjun Madakaripura. Jalanan yang kami lalui lumayan bagus. Beraspal halus yang kemudian disusul dengan lubang menganga disana-sini.

Menuju Madakaripura.
Pintu masuk wisata Air Terjun Madakaripura dijaga oleh patung Mahapatih Gajah Mada yang mengacungkan keris dengan tangan kanan. Seolah-olah menunjukkan kepada pengunjung bahwa setelah melewati patung tersebut kita harus belok kanan. Tidak jauh dari patung tersebut, kami telah sampai di lokasi. Fasilitas sebagai sebuah obyek wisata cukup lengkap. Menurut kami sebagai mahasiswa yang tinggal di kos-kosan. Warung, parkir motor-mobil, pendopo, toilet, semua tersedia.

Mahapatih Gajah Mada.
Untuk menikmati indahnya Air Terjun Madakaripura, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Bila kami mau, kami dapat memanfaatkan jasa pemandu untuk mengantarkan kami menuju lokasi air terjun. Tentunya dengan berjalan kaki melintasi sungai berbatu, menembus hutan liar. Rindang. Patung Mahapatih Gajah Mada tengah duduk bertapa menyambut kami yang akan memulai berjalan kaki. Mendung sempat membuat kami gentar. Perjalanan dimulai dengan menyeberangi sungai berbatu. Menyeberangi kembali. Dan kemudian menyeberangi kembali. Total sebanyak 5 kali kami menyeberangi sungai. Di salah satu ruas jalan setapak, terdapat warung-warung kecil yang menyediakan jajanan sederhana. Ketahuilah teman, di tengah hutan liar ini, warung tersebut rata-rata dijaga oleh perempuan. Seorang diri pula. Tanpa seorang laki-laki.

Penyeberangan ketiga.
Penyeberangan pertama.
Setapak berbatu.
Di penyeberangan terakhir ini, penyeberangan kelima, air terjun mulai terlihat. Namun, itu bukan air terjun utama. Air terjun ini langsung menimpa pengunjung yang akan meneruskan perjalanan ke air terjun utama. Sehingga disarankan untuk mengenakan jas hujan ketika berada disini.
Menuju air terjun utama, selain ditimpa oleh air terjun pembuka yang tepat di atas kami, kami juga diharuskan melewati tebing. Jurangnya berupa air. Entah dalam atau dangkal. Kami tak tahu. Merangkak miring cara kami melewati tebing tersebut.
Akhirnya, kami pun tiba di air terjun utama. Konon, disinilah Mahapatih Gajah Mada menghabiskan sisa hidupnya. Di balik air terjun utama ini, beliau melakukan tapa memuja Sang Kuasa. Seorang diri menikmati sunyi. Sunyi yang menentramkan hati dari ingar-bingar kuasa dunia fana. Saat itu. Di tengah kemelut lingkaran kekuasaan Majapahit.

Menapaki tebing licin.
Air terjun pembuka.
Hujan menyapa. Tak hanya sekadar menyapa, ia mencoba mengakrabi kami. Menyebabkan kami basah kuyup akibat derasnya keakraban yang terjalin. Di salah satu bangunan warung dari bambu yang tak membuka dagangannya hari itu, kami sempatkan berteduh. Disini kami berjumpa dengan Pak Ponidi, penjaja kantong plastik. Darinya, kami mendapatkan banyak kisah seputar Air Terjun Madakaripura. Berikut secuil kisahnya.

"Sebenarnya mas, warga tahu air terjun ini sudah lama. Warga juga tahu kalau air terjun ini ada hubungannya dengan Mahapatih Gajah Mada. Cuman mereka ndak menyebarluaskannya. Sampai suatu ketika ada proyek pengaliran air melalui pipa-pipa yang mengambil sumber dari situ. Makanya sampean lihat banyak pipa-pipa disekitar sungai kan?"
"Dulunya sungai ini ketutup pepohonan besar mas. Sampai proyek itu datang kesini dan memangkasi pohon-pohon besar itu. Ya jadinya seperti sekarang yang sampean lihat. Cukup terang kan?"
"Waktu proyek itu datang survey mas, mereka, petugas survey itu sampai ke air terjun utama dan foto-foto disana. Air terjun utama itu juga difoto. Waktu dicetak, di air terjun itu terlihat bayangan orang duduk bertapa. Gajah Mada mas. Nah, sampaen lihat kan patung yang di depan itu? Itu dibuat sesuai dengan bayangan yang terlihat di foto itu mas."

"Sungai ini sebenarnya perbatasan mas. Perbatasan antara Probolinggo sama Pasuruan. Cuman air terjunnya ini masih masuk wilayah Probolinggo. Jadi waktu sampean jalan kesini nyebrang sungai itu. Sampean pindah-pindah wilayah Probolinggo-Pasuruan bolak-balik."

Saya menyempatkan bertanya untuk membuktikan dugaan saya. "Pak, disini mayoritas Jawa atau Madura?" Pak Ponidi menjawab santai. "Disini Jawa mas, Jowo, bukan Madura. Saya malah ndak ngerti Madura mas." Tetap membingungkan bagi saya, karena bahasa Jawa yang digunakan berlogat Madura. Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan kembali.
Sesampainya di tempat parkir, kami sempatkan untuk menikmati penganan yang dijual di salah satu warung. Sederhana. Hanya teh manis dan sepiring pisang gorengan. Cara menggorengnya pun khas di desa. Penjaga warung tersebut sempat bertutur.

"Kalau sampean beruntung mas, pas cuaca cerah, di air terjunnya bisa kelihatan seperti ada bayangan patung Gajah Mada yang duduk itu mas."

Kami tidak cukup beruntung hari itu. Mendung menggelayut dan hujan pun turun. Kolam di sekitar air terjun menjadi keruh. Tidak biru seperti biasanya.
Kami pun melanjutkan perjalanan pulang kembali ke Malang. Satu hal yang tak kami duga, setiap sepeda motor yang parkir selalu mendapatkan jasa cuci motor. Untuk itu, kami juga harus menyediakan sedikit uang untuk membayar jasanya. Pelajaran untuk anda yang akan berkunjung ke sana.
Kami tidak langsung menuju Malang. Di Pasuruan kami berhenti di rumah teman kami. Firdausi Nuzula namanya. Sekadar beristirahat dan menikmati suguhan dari sang empunya rumah. Satu hal yang diingat teman kami-Prima, adalah "Rawon Bu Kaji emang josssss!!!".

Latar air terjun utama.

Tidak ada komentar: