Senin, 03 Maret 2014

Jolosutro, 23 Februari 2014

Semester 8. Semester yang disibukkan dengan kegiatan penelitian yang bermuara pada suatu karya tulis berbentuk skripsi. Semester akhir bagi para mahasiswa yang mengejar lulus 4 tahun. Semester dimana gelar sarjana siap untuk direngkuh.
Ahad, 23 Februari 2014, pantai menjadi tujuan perjalanan. Bukan untuk rekreasi. Niat awalnya adalah survey penelitian tugas akhir. Kali ini masih melibatkan mahasiswa geofisika dari jurusan Fisika Brawijaya angkatan 2010. Dwi Ajeng dan Diah Ayu, duet yang semakin lengket pasca kerja praktek di salah satu kota di Jawa Barat.
Jolosutro nama pantainya. Teman saya yang berasal dari Malang Selatan menyebutnya Njolosutro, dengan tambahan bunyi N di depan. Mereka berdua melakukan survey dengan dibantu oleh Saya, Kiben, dan Shofi, mahasiswa instrumentasi dan biofisika yang bisa dibilang awam dengan hal-hal yang berbau teori geofisika.
Pantai ini letaknya di Blitar Selatan. Saya, Kiben, Diah, dan Shofi berangkat dari Malang. Sedangkan Ajeng menunggu di rumah ayah dan ibunya di Kesamben, Blitar. Sekitar satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Kesamben. Setelah beristirahat sejenak, perjalanan pun dilanjutkan menuju ke pantai Jolosutro.
Isi bahan bakar di Pom Kesamben.
Jalanan menuju pantai, sama seperti umumnya pantai yang pernah saya kunjungi. Jalanan menanjak kemudian menurun. Pemandangan yang kami temui di jalanan menuju pantai menyerupai dengan bukit tabi, salah satu latar dalam sinema teletubbies, tontonan masa kecil.
Pantai Jolosutro adalah pantai yang menghadap Samudra Indonesia. Ombaknya cukup besar. Suasananya masih sepi dan alami. Pasirnya berwarna putih. Tetapi bukan disini lokasi yang akan kami survey. Lokasinya ada di balik bukit. Jalan setapak menyusuri bukit harus kami lalui untuk mencapainya. Dari balik semak belukar, birunya laut terlihat indah terhampar.
Di balik belukar.
Menyusuri setapak.
Di balik bukit , pasir pantai yang semula putih berubah menjadi hitam. Yap, itulah pasir besi. Survey yang dilakukan kali ini bertujuan untuk menentukan line. Line yang mungkin terbentuk adalah sekitar sepanjang 200 meter. Dengan jarak antar line sekitar 5 meter, maka posisi line kedua membentur sebagian bibir pantai. Hal yang seharusnya dihindari jika menggunakan metode geolistrik. Metode yang akan digunakan oleh teman saya. Sementara metode yang digunakan teman saya yang lain diistilahkan dengan metode magnetik. Kendala terbesar adalah medan sekitar pantai yang masih berisikan semak belukar. Posisi desain survey juga mengharuskan untuk memanjat bukit yang curam. Sesuatu yang mungkin dilakukan tapi tidak mungkin dilakukan.
Pasir hitam Jolosutro.
Sudut lain.
Survey selesai. Informasi yang didapat, dihimpun untuk kemudian disampaikan pada dosen pembimbing. Sebelum pulang, ritual sakral tidak boleh dilewatkan. Foto-foto merupakan ritual sakral bagi teman-teman muda umumnya. Merekam ombak? Itu ritual lain yang tidak selalu dimiliki oleh umumnya teman-teman.
Bukan legenda Malin Kundang.
Santap siang.
Berlindung di bawah payung, di bawah gubug.
Siang itu hujan menyapa. Di bawah gubug kosong dan beratapkan dedauanan kering, kami berlindung dari terpaan air hujan. Kami pun membuka bekal. Santap siang di bawah hujan. Sesekali kami harus berpindah posisi karena air hujan sanggup menerobos sela-sela atap dedaunan kering. Hujan di pinggir samudra luas kadang menimbulkan rasa was-was. Segala kemungkinan bisa terjadi. Dari kemungkinan terbaik hingga kemungkinan terburuk. Dan, hari itu, kami berempat, Saya, Kiben, Diah, dan Shofi, tiba di Malang di waktu malam. Tak sampai pukul sembilan.
Terdampar.
Madu tiga.
Bertapa.
Anomali.
Jagung tepi pantai.

Tidak ada komentar: